Direktur Eksekutif The Wahid Foundation Yenny Wahid menerangkan, faktor kemiskinan, tingkat pendidikan, dan tempat tinggal bukanlah faktor-faktor yang berhubungan langsung dan menyebabkan orang untuk melakukan radikalisme.
“Ternyata tidak sama sekali. Contoh paling gampang Bachrun Naim. Orang Indonesia dan sekarang di ISIS. S2 nya di UI. Pendidikannya tinggi juga berasal dari kelompok berada karena keluarganya adalah saudagar batik di Solo,” ungkap Yenny saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik dengan tema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia di Auditorium Gedung PPSDM Jakarta, Sabtu (22/7) sore.
Baca: Ini Dia Propaganda dan Sasaran Kaum Radikal, Waspadalah!
Setelah melakukan penelitian ia menemukan ada tiga faktor yang berhubungan langsung dan mempengaruhi orang untuk melakukan tindakan radikalisme. Pertama, faktor teralienasi. Yang dimaksud dengan teralienasi adalah ketika seseorang melihat ada ketidakadilan di sekelilingnya dan harus dilawan atau ia terkucil dari lingkungannya.
Ini yang bisa membuat orang untuk berbuat radikal. Menurutnya, yang paling rentan terkeda virus radikalisme adalah seorang laki-laki muda karena mereka sedang mencari jatidiiri dan identitas diri.
“Orang lak-laki muda lebih rentan teradikalisasi,” tuturnya.
Kedua, banyak mengonsumsi pesan-pesan kebencian. Orang yang sering terpapar pesan-pesan kebencian, maka ia akan rentan untuk melakukan gerakan-geralam radikalisme.
Baca: Mengungkap Dunia Dalang Kaum Jihadis: Book Review
“Semakin sering ia terpapar dengan khutbah, dengan tulisan yang isinya kebencian aja, kafirin-kafirin orang aja, jauh lebih mudah teradikalisasi,” jelasnya.
Ketiga, imbuh Yenny, pemahaman tentang jihad yang keliru. Baginya, orang yang memahami tentang konsep jinayah secara literal, maka mereka juga rentan teradikalisasi.
Seperti orang yang memiliki pemahaman tentang hukum kriminal yang harus disamakan dengan hukuman yang ada pada zaman dahulu seperti kalau mencuri, maka harus dipotong tangan dan kalau berzina, maka harus dirajam.
“Pun juga kalau dia berpikir jihad itu harus dimaknai berperang, bukan menahan nafsu dan diri sendiri. Itu jauh lebih mudah teradikalisasi,” tutupnya.
(nuorid/suaraislam)