Tak Diduga! Inilah Yang Terjadi ketika Seniman Muslim dan Kristen di Satu Panggung

Pembacaan puisi di kampus IAIN Ambon.

“Kau lagi-lagi memperdebatkan agama! Islamkah, Kristenkah, Hindukah, Buddhakah, salahkah, benarkah? Saya tak tahu! Yang aku tahu, aku tidak ingin berdebat, sebab rindu dan cinta, sebab rindu dan cinta menjadikan kita seagama.”

Cuplikan puisi seorang calon pendeta, Worol Haurissa, yang dia bacakan dengan alunan suling dan ukulele pada satu sore di kampus Institut Agama Islam Negeri Ambon.

Syair-syair lain bergiliran disampaikan termasuk oleh ustad, seniman dan pemuda pemudi Maluku lainnya, sambil berbincang dan menyeruput kopi.

Kumpul-kumpul yang terlihat biasa, namun ini disebut sebagai satu hal “yang mewah” karena kebersamaan seperti ini di Ambon merupakan sesuatu yang harus mereka perjuangkan, melalui satu proses panjang.

“Seniman Islam dan Kristen di satu panggung, itu mewah. Pengalaman yang baru selalu, dan itu jadi cerita, kami baca puisi dengan anak Muslim. Penyair Kristen baca puisi di IAIN, itu sensasi,” kata penyair dan wartawan Maluku, Rudi Fofid yang ikut membacakan puisinya.

Konflik berdarah dengan ribuan korban jiwa yang pecah di Ambon pada awal 1999 dan bergolak selama bertahun-tahun, membuat pertemanan dengan mereka yang berbeda iman menjadi sesuatu yang sulit.

Pertemanan yang harus dirajut dari awal karena kerusuhan menjadikan dua komunitas menaruh dendam dan saling curiga.

Rudi Fofid banyak terlibat dalam kumpul-kumpul anak muda seperti ini. Seperti sebagian yang hadir di IAIN Ambon, ia juga memiliki cerita sedih.

Orang tuanya yang tinggal di Kei juga menjadi korban. Yang lainnya, ada yang menjadi saksi dan juga pelaku. Salah satu syair Rudi dibacakan seorang mahasiswi berjilbab sore itu.

Kaget Muslim, Kristen di panggung yang sama

Di sisi mahasiswi tadi, Ronald Regang, seorang mantan tentara anak, mengiringi dengan gerakan tari.

Ronald termasuk yang berupaya merajut pertemanan dengan mereka yang seusia dengannya.

Saat konflik, warga mengungsi ke daerah masing-masing berdasarkan agama, dan setelah konflik pemisahan tempat tinggal warga Ambon, seakan menjadi permanen. Bagi yang Kristen, banyak yang takut ke daerah Muslim dan demikian sebaliknya.

Empat tahun setelah perjanjian damai Malino pada 2002, Ronald yang mulai hobi menari memberanikan diri mengajar tari di daerah Muslim.

“Saya kumpulkan kawan-kawan Muslim, datang ke rumah saya di daerah Kristen. Saya basic-nya dance, saya ajak kawan-kawan untuk menari, melukis, baca puisi.”

“Saya juga melatih anak-anak Muslim, dan saya gabungkan dengan anak Kristen yang saya latih (terpisah). Ada satu titik mereka berada di satu panggung, mereka kaget berpasangan Muslim, Kristen, kostum dengan gaya yang sama,” cerita Ronald.

“Mereka (yang Kristen) tak pernah bertemu dengan orang Muslim. Pada akhirnya kita berkawan dan sampai sekarang berkawan,” tambahnya.

Keberanian melintas batas ini memakan proses lama, setelah banyak pertemuan intensif, melalui beragam kegiatan termasuk yang diorganisir Lembaga Antar Iman Maluku, wadah yang diorganisir para tokoh lintas agama termasuk Pendeta Jacky Manuputty dan Ustad Abidin Wakano.

Ratusan anak dan remaja diperkirakan terlibat dalam konflik dengan episenter di Ambon dan menyebar ke pulau-pulau lainnya.

Setelah konflik mereda, hanya sebagian kecil yang menjalani transformasi menjadi pegiat perdamaian setelah mengikuti berbagai pertemuan dan pemulihan trauma.

Yang lainnya, banyak yang terjebak dalam dunia keras seperti penagih utang.

Abidin Wakano, ustaz yang ikut membacakan satu puisi di IAIN, mengatakan sebagian anak-anak Maluku ini “mengalami trauma luar biasa, terpaksa atau dipaksakan menjadi tentara untuk kalangan anak-anak, terpaksa atau dipaksa menjadi jihadis, terpaksa atau dipaksa karena kondisi”.

Abidin mengatakan melalui berbagai kegiatan-kegiatan seperti ini mereka membicarakan masalah-masalah bersama.

Ditangkap polisi, bela teman Muslim

Bagi Ronald pengalamannya dalam menyaksikan sendiri teman-teman Muslim membela dirinya, membantunya membangun rasa saling percaya. Masa-masa pada 2002 sampai 2011 masih menjadi momen yang tegang dan rawan.

“Saat tegang di daerah perbatasan, saya saat itu berada di daerah Muslim, dan mereka baru tahu saya Kristen, tapi mereka justru bangga ada orang Kristen di antara kita. Mereka melindungi saya. Dari situ saya makin percaya dengan kawan Muslim. Mereka bisa menjaga saya di daerah mereka, saya terus melakukan latihan tari sejak itu,” tambahnya.

Ketegangan lain sampai membawanya ke penjara untuk membela teman-teman barunya.

“Pada tahun 2011, saya di daerah Muslim, kita lagi duduk di rumah teman jihad mini dan saya yang pimpin kawan-kawan Muslim untuk serang anak Kristen balik…Kenapa saya serang, karena teman Muslim tak berbuat apa-apa, anak Kristen saja yang mabuk saat itu dan melempar batu. Saya membela dan saya ditangkap polisi dan saya dipenjara enam bulan,” ceritanya bangga.

“Kawan-kawan dari jihad mini mengatakan kau sudah gila, karena seharusnya kami yang turun. Kamu harusnya sembunyi. Itu saking dekatnya saya dengan kawan-kawan Muslim sekarang ini.”

Salah seorang yang ia sebut “jihad mini” adalah Iskandar Slameth, yang ikut tergabung dengan Pasukan Jihad saat kerusuhan.

Iskandar, yang bertahun-tahun berada di garis depan sejak usia 13 tahun, baru menemukan, “rekan Kristen pertamanya” saat di bangku kuliah.

Pertemuan-pertemuan intensif, yang sempat diawali dengan ketegangan, membuatnya merasa bebas dan dapat bermain ke wilayah-wilayah Kristen dan “saling menjaga”.

“Ada satu daerah Muslim yang dulu dianggap keras dan mereka takut, tapi kami katakan kalian datang dan kami akan jaga kalian. Kami pun sama, kita sudah masuk keluar (daerah Kristen) tak ada batasan lagi,” kata Iskandar.

Ramadan berbagi dengan anak-anak Kristen

“Saya buat acara keagamaan, Ramadan berbagi misalnya, anak-anak Kristen juga ikut, dan Opa Rudi (panggilan Rudi Fofid) berduet baca puisi dengan hafiz cilik,” ceritanya lagi.

Satu hal yang membuat Iskandar dan Ronald merasa “dekat” karena merasa mengalami nasib yang sama.

“Apa yang membuat saya dekat dengan kawan-kawan Muslim itu, mungkin karena kita terlibat dalam konflik yang sama, kita pernah membunuh, semua kita rasakan hal yang sama,” kata Ronald.

“Kenapa begitu dekat, mereka membuka diri, saya membuka diri dan kita sama-sama menyesal. Kita sama-sama ingin lebih baik dari pada hari kemarin yang pernah kita lalui begitu keras. Kenapa begitu dekat, kita menyamakan hobi, minat, pada akhirnya kita bekerja untuk perdamaian dengan berseni,” tambahnya.

Bagi anak-anak muda yang mengalami kerusuhan paling berdarah di Indonesia ini, tantangan yang mereka lihat saat ini adalah mudah tersebarnya isu lewat media social.

“Fungsi kita melerai atau menengahi, ada kasus yang berkembang di daerah Kristen bahwa ada yang ingin serang Muslim. Kita langsung cepat-cepat pakai sosial media dan handphone… Ketika dapat isu anak-anak buat status, anak Kristen tandai anak-anak Muslim, begitu sebaliknya kita katakan isu itu tak benar. Kami telpon kawan Muslim. Supaya jangan salah paham,” kata Ronald terkait apa yang mereka selalu lakukan belakangan ini.

Kerusuhan berdarah serta ketegangan yang mereka alami selama bertahun-tahun merupakan satu hal yang “menyakitkan.”

“Konflik itu sangat menyakitkan, karena konflik itu kita tak bisa bertemu dengan orang lain,” kata Ronald.

Sementara Iskandar mengatakan, “Kami anak Maluku, kami penerus Maluku. Bagaimana membangun Maluku kalau kita hidup dengan punya rasa dendam… Ketika keadaan seperti sekarang ini, kita bisa jalan bareng, tanpa ada rasa takut, itulah yang kita nikmati sama-sama sekarang.”

(bbc.com/ suaraislam)

Loading...