Indonesia, merupakan salah-satu negara yang paling banyak mendelegasikan jemaah haji ke Saudi Arabia. Hampir dapat dipastikan, jumlah jemaah haji di Indonesia, terus semakin bertambah dalam setiap tahunnya. Indikasi konkret ke arah tersebut yaitu fenomena daftar antri calon jemaah haji yang harus rela hati menunggu jadwal pemberangkatan sampai 15 (lima belas) tahun begitu ia resmi mendaftar berangkat haji ke Kantor Kemenag (Kementerian Agama) di setiap kabupaten, tanpa terkecuali di Madura.
Anehnya, di tengah keterpurukan ekonomi, Indonesia justru mendelegasikan jemaahnya dalam jumlah rombongan yang relatif paling banyak di banding negara-negara yang lain. Jemaah haji Indonesia yang akan berangkat ke Mekkah ini terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan aneka stratifikasi sosial mulai dari pejabat, konglomerat hingga orang melarat sekalipun. Fenomena ini tentu menyisakan berbagai kegelisahan spritual yang memunculkan pertanyaan, misalnya, mengapa ibadah ini begitu “berharga” dan bergengsi dari ibadah yang lain? Mengapa Mekkah menjadi pesona lokus “mungil” yang menggembirakan dan menggiurkan dari pada tempat yang lain?
Beberapa abad yang silam, tepatnya di Jazirah Arab, ternyata kegelisahan spritual ini juga pernah dialami oleh seorang raja, bernama Abrahah. Gugatan-gugatan emosional yang menyelimuti jiwanya mengantarkannya pada tindakan anarkisme rencana penghancuran bangunan Ka’bah di Mekkah al-Mukarramah. Awalnya, Abrahah begitu miris menyaksikan “kegilaan” orang-orang Yaman berjubel mendatangi (Ka)’bah, sehingga muncul ide-ide dan gagasan besar untuk membuat (ka)’bah tandingan. Namun upaya tersebut ternyata tidak bisa membendung “gairah” spritualitas masyarakat Yaman. Dalam kondisi yang demikian, kegagalan tersebut akhirnya menyeret ide-ide kreatif Abrahah menjadi ide destruktif, yaitu penghancuran Ka’bah dengan cara mengerahkan ribuan tentara bergajah. Fenomena ini-lah yang diabadikan dalam al-Qur’an dalam satu surat bernama Surat al-Fil, yang berarti tentara bergajah.
Tulisan ini hendak mengungkap fenomena “gairah” wisata religi ke Mekkah perspektif sosiologis. Berhaji merupakan puncak pengalaman spritualitas seseorang yang teramat kaya dengan nilai-nilai simbolik. Dalam teori-teori sosial, sosiolog bernama Emile Durkheim (1971) mengatakan bahwa simbol pada kenyataannya bisa mendorong terbentuknya motivasi dan menghantarkan hati nurani manusia ke arah sikap humanisme yang terdalam. Dengan teori simbolik tersebut, fenomena “gairah” berhaji, akan dibongkar lapisan-lapisan makna dan kerak-kerak ideologi yang terapung di dalamnya.
Interpretasi terhadap simbolisasi tersebut bisa dilakukan dengan cara melihat struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar yang dimaksudkan, bahwa haji merupakan kewajiban bagi muslim yang mampu, karena ia merupakan bukti konkrit bangunan dasar keislaman seseorang yang terakhir. Sedengkan struktur dalamnya yaitu ideologi yang dibangun di dalamnya. Masyarakat Madura dalam memperlakukan ibadah haji, ternyata juga mempunyai budaya tersendiri yang unik dan kaya dengan simbol. Fenomena simbolisasi tersebut dapat dibaca dari tiga hal berupa;
Pertama, budaya slametan dan antar jemput jemaah haji. Di Madura, (calon) jemaah haji biasanya mengadakan slametan pra atau pasca melakukan ibadah haji. Ritual yang demikian, selain sebagai media doa menjaga keselamatan, mempererat silaturrahmi, juga menjadi sarana meningkatkan popularitas sosial. Gejala menajamkan status sosial ini tampak ketika seseorang mendaftar haji, lima tahun sebelumnya, seluruh warga kampung, bahkan desa, sudah geger pemberitaan bahwa si A, akan berangkat haji. Karena itu, tidak jarang (calon) jamaah haji akan diantar dan dijemput oleh warga menggunakan mobil beriring-iringan.
Kedua, peci putih, ganti nama arab dan aksesoris tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Artinya, di Madura terdapat fenomena bahwa orang yang sudah naik haji, maka ia dikonstruk secara sosial bahwa ia harus ganti peci putih dan ganti nama Arab. Demikian pula, fenomena resepsi estetis terhadap kutipan ayat-ayat bernuansa religi yang ditulis dan dijadikan aksesoris di dinding rumah jemaah haji Madura. Fenomena-fenomena tersebut sebenarnya merupakan simbolisasi struktur stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan material, bahwa penghuninya adalah orang yang sudah bertambah gelar berupa Pak Ajjih atau Buk Ajjih. Sebab, ibadah haji merupakan ibadah privilis yang tidak hanya butuh pada kekuatan fisik, seperti syahadat, shalat dan puasa, tetapi juga harus didukung dengan kekuatan material. Karena itu, wajar sekali jika ada orang yang emosinya meledak-ledak hanya gara-gara tidak dipanggil Pak Ajjih atau Buk Ajjih. Sebab predikat dan tambahan gelar sebagai Pak Haji atau Ibu Haji di mata orang Madura sungguh merupakan gelar yang mahal harganya.
Ketiga, larangan beraktivitas di luar rumah selama setengah bulan. Di Madura, terutama di pedesaan, orang yang baru datang dari Mekkah dilarang beraktivitas di lura rumah. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipatif kedatangan tamu dari sanak famili yang bermaksud meminta dukungan doa agar diberikan kesejahteraan hidup oleh Allah, terutama permohonan doa agar juga segara menyusul menunaikan ibadah haji. Menjalani hidup damai, aman dan sejahtera merupakan dambaan setiap orang, sedang ibadah haji berupa ritus yang syarat dengan harapan-harapan positif melalui argumentasi teologis bahwa semua doa yang dipanjatkan oleh jemaah haji di Multazam adalah mustajabah (diterima). Dengan demikian, larangan ke luar rumah tersebut merupakan “senjata ampuh” pemberian sirkulasi kesempatan yang sama bagi sanak famili untuk melakukan wisata religi ke tanah suci Mekkah.
Dari beberapa interpretasi simbolisasi di atas, kiranya satu hal yang lebih penting yaitu harapan kita agar jamaah haji tahun ini, diharapkan menjadi haji mabrur yang tidak hanya mengejar surga an-sich; sesuatu yang bersifat eskatologis, tetapi bagaimana meregulasi gelar haji mabrur agar mempunyai kontribusi positif terhadap keluarga dan bangsa. Mereka harus menjadi teladan moral bagi lingkungan sekitar, bukan menjadi teladan preman yang sesekali waktu menjadi bom peledak kehancuran bangsa. Wallahu A’lam. [*]
Oleh: Fathurrosyid
Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep
(koranmaduracom/suarailam)