Presidential treshold 20 persen kekuatan partai di DPR untuk apa?
Kata pendukungnya, untuk membuka koalisi lebih besar sehingga pemerintahan yang terbentuk dari Pemilu makin kuat. Apa betul demikian?
Apakah koalisi selalu dari sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres)?
Tidak juga. Tiap Pilpres ada beberapa calon, dan masing-masih didukung koalisi.
Apakah yang kalah tidak ikut koalisi?
Kebanyakan ikut yang menang walau calonnya kalah. Pasca Pilpres 2014, Golkar, PAN, dan PPP ikut Jokowi walaupun di Pilpres mereka semua melawan Jokowi.
Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang-Yudhoyono juga begitu.
Pola yang umum adalah ada gula ada semut, atau secara positif mangan ora mangan kumpul.
Logika ada gula ada semut atau mangan ora mangan kumpul itu positif. Ia mencegah problem of collective action. Kalau semua tidak mau ngumpul, gimana jadinya negeri ini? Walaupun ngumpul itu rentan kolusi dan korupsi. Tapi ini soal lain, law enforcement.
Logika treshold 20 persen itu membuat partai-partai kecil berguna. Mereka dihitung untuk ikut kekuasaan, bukan sekedar nyalon. Di situ yang terjadi biasanya jualan. Kalau treshold 0 persen, semua partai bisa mencalonkan presiden bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Transaksi di situ kemungkinanan kecil bila masing-masing punya calon. Calonnya jadi banyak. Kemungkinan besar dua putaran. Tapi rakyat diberi kesempatan lebih banyak untuk milih calon yang lebih cocok dibanding kalau calon sedikit. Sebaliknya, bila treshold besar, partai kecil yang petingginya ambisius ingin jadi presiden terhambat.
Bagi rakyat kebanyakan, tidak penting 20 persen ataupun 0 persen. Toh 20 persen juga sama menyisakan tempat untuk calon lain.
Treshold itu tak ada kaitan penting dengan logika koalisi maupun efektivitas pemerintahan hasil Pilpres.
Tapi bagi partai yg ingin calonkan tokohnya ketakutan tak mampu melewati treshold itu.
Treshold 0 atapun 20 persen, hanya game elite politik, tak langsung efeknya dengan kepentingan rakyat.
Bagi rakyat, keduanya sama saja pada akhirnya.
Wallahu A’lam.
Saiful Mujani
(suaraislam)