Ibnu Jauzi dalam kitab Talbis Iblis mengatakan, perangkap setan itu menguat karena menguatnya kebodohan. Orang awam lebih mudah masuk perangkap setan ketimbang orang ‘alim.
Terkadang iblis memperdaya orang-orang awam dengan fanatisme madzhab tertentu. Tidak heran jika kita sering melihat mereka saling kutuk, caci, hujat dan bermusuhan karena suatu urusan yang tidak mereka ketahui hakikatnya.
Di antara mereka ada yang merasa puas dengan pikirannya sendiri, dan tidak peduli meskipun bertentangan dengan pendapat ulama. Selama fatwa ulama itu bertentangan dengan kepentingannya, dia segera menyanggah pendapat ulama dan menyerang. Perangkap iblis lainnya kepada mereka, mereka mencela dan mencaci ulama karena ulama melakukan perkara mubah.
Orang-orang awam yang mempunyai “ghirah” agama yang tinggi, berubah menjadi ustadz-ustadz instan. Biasanya berafiliasi kepada gerakan Islam non mainstream. Mereka muncul tanpa melalui proses belajar, pendidikan dan latihan di bawah bimbingan guru yang berpengalaman dan matang secara intelektual dan spiritual. Keberadaan mereka menjadi masalah baru bagi umat Islam.
Masalahnya, akibat keawaman mereka, mereka bersikap intoleran, predatoris dan vigilant dalam “berdakwah”. Intoleran karena perspektif mereka sempit, satu arah dan satu warna dalam memahami agama. Tidak ada kebenaran di luar kebenarannya. Tidak ada keselamatan di luar kelomponya. Mereka merasa benar, syar’i dan shalih sendiri. Di luar diri dan kelompoknya, adalah orang-orang bejat, bodoh, munafik dan sesat.
Sehingga agar “dakwahnya” diterima, mereka menggunakan pendekatan kekuasaan bukan pencerahan. Mereka memandang objek “dakwah” layaknya hewan buas memandang mangsanya. Penuh nafsu. Ketika disanggah, ditentang dan ditolak; Mereka emosi, membenci dan mem-bully. Kemudian main hakim sendiri (vigilante). Penjadi ahli tafsir, mufti dan hakim bagi orang lain.
Mereka merasa taat, padahal maksiat. Ini yang disebut dengan istilah maksiat dalam taat. Syaikh Ibnu Atha’illah mengatakan pangkal setiap kelalaian dan maksiat adalah merasa puas diri.
. أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ وَ غَفْلَةٍ وَ شَهْوَةٍ الرِّضَا عَنِ النَّفْسِ وَ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَ يَقَظَةٍ وَ عِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَا مِنْكَ عَنْهَا.
Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.
Menurut Syaikh Zarruq ada tiga ciri orang yang rela dengan nafsunya: Ia melihat al-Haqq untuk nafsunya, menyayangi nafsunya dan mengabaikan aib-aib nafsunya serta meyakini kesucian dirinya sendiri.
Bandung, 27 April 2020
Ayik Heriansyah, Pengurus LD PWNU Jabar
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=154252789491678&id=100047208737142
(suaraislam)