Malam Nisfu Sya’ban: Antara Bid’ah dan Ibadah

Ilustrasi (Sumber: Google Images)

Ibadah Malam Nisfu (Pertengahan) Sya’aban sering dituding bid’ah. Tudingan ini datang dari kelompok Wahabi dengan mengutip fatwa Syaikh Bin Baz. Apabila anda cari di “google” dengan kata kunci “malam nifsu Sya’ban” maka akan bermunculan situs-situs online yang berpaham Wahabi yang menegaskan soal bid’ah malam Nisfu Sya’ban ini.

Namun sebenarnya kalangan Wahabi ini lupa, bahwa tokoh rujukan mereka yang disebut ahli hadits dan diakui oleh kalangan mereka, Syaikh Al-Albani meriwayatkan sebuah hadits yang dianggap shahih tentang keistimewaan malam Nishfu Sya’ban. Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh seorang sahabat: Mu’adz bin Jabal Ra:

عن معاذ بن جبل قال: قال رسول الله : “يطلع الله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

Dari Mu’adz bin Jabal berkata: Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt mengawasi pada seluruh makhluk-Nya pada malam pertengahan Sya’ban, Dia akan ampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang Musyrik dan Bermusuhan.

Menurut Syaikh Al-Albani dalam “al-Silsilah al-Sahihah” (3/135) hadits tadi dinilai shahih. Hadist ini jelas-jelas menjelaskan keistimewaan Malam Nisfu Sya’ban. Lantas, mengapa kelompok Wahabi masih menuding ibadah-ibadah pada malam ini disebut bid’ah, padahal malam ini benar-benar istimewa.

Demikian juga Syaikh Ibn Taimiyah yang merupakan rujukan utama kelompok Wahabi dan Salafi lainnya, tidak pernah menyatakan malam Nisfu Sya’ban sebagai bid’ah, bahkan mengakui:

وأما ليلة النصف فقد روي في فضلها أحاديث وآثار ونقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة فلا ينكر مثل هذ

Sedangkan (masalah) malam pertengahan (Sya’ban), telah diriwayatkan banyak hadits dan atsar serta dinukil dari kelompok Salaf, bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam ini. Shalatnya seseorang pada malam ini telah didahului oleh para Salaf, hal ini merupakan hujjah yang tidak diingkari lagi (Majmu’ Fatawa Juz XXIII/132)

Maka, dua dalil tadi yang datang dari kelompok Wahabi, sebenarnya telah bisa membatalkan tudingan-tudingan bahwa ibadah Malam Nifsu Sya’ban dianggap bid’ah.

Hanya Puasa Pertengahan Bulan

Mungkin akan ada tudingan lain: “Yang bid’ah adalah beribadah sunnah hanya pada Malam Nisfu Sya’ban dan puasa pada siang harinya saja.”

Tudingan ini juga tidak berdasar. Karena Malam Nisfu Sya’ban benar-benar istimewa dengan adanya sabda Rasulullah Saw. Sementara berpuasa pada siang hari pertengahan bulan Sya’ban saja juga berasal dari hadits:

عن علي بن أبي طالب قال: «قال رسول الله : “إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله ينزل فيها إلى سماء الدنيا فيقول ألا من مستغفر فأغفر له، ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتلى فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر

Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah Saw bersabda: Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (diriwayatkan dalam Kitab “Tuhfatu Dzakirin” karya Al-Syaukani dan hadits ini sanadnya dla’if)

Hadits ini memang dinilai da’if (lemah), namun banyak ulama, seperti al-Hafidl Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa hadits da’if bisa dipakai untuk keutamaan ibadah (fadha’il) bukan untuk masalah-masalah aqidah.

Bahwa benar puasa bulan Sya’ban tidak hanya sehari, apalagi pertengahannya saja, banyak puasa pada bulan Sya’ban merupakan pilihan yang terbaik dan ideal. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin al-fashl al-tsalits fi al-Tathawwu’ bi al-Shiyam yang mengutip hadits berpuasa sampai pertengahan bulan Sya’ban merupakan sunnah, dengan tidak berpuasa sampai masuknya Ramadhan. Namun menurutnya kalau mau menyambungkan puasa-puasa Sya’ban dengan Ramadhan tanpa jedah hukumnya boleh.

Tentu saja, dalam ibadah sunnah kita mencari yang terbaik, namun ibadah sunnah juga pilihan, bukan paksaan. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa hanya ada yang mampu puasa sehari pada pertengahan bulan saja. Maka, orang ini tidak pantas dikecam, apalagi disebut bid’ah, ia lebih baik daripada yang tidak berpuasa sama sekali, namun yang banyak berpuasa pada bulan Sya’ban (hingga pertengahan, atau menyambungnya dengan Ramadhan) tentu saja lebih baik dari yang hanya berpuasa sehari.

Shalat Sunnah Malam Nisfu Sya’ban

Karena disebut oleh Rasulullah Saw Malam Nisfu Sya’ban istimewa, maka ada tradisi menghidupkan malam ini dengan ritual-ritual ibadah, seperti shalat sunnah berjamaah. Tradisi ini merujuk pada kalangan Tabi’in di Kawasan Syam (Syria) seperti Khalid bin Mi’dan, Makhul, Luqman bin Amir yang menagungkan malam ini dan banyak beribadah di dalam masjid secara berjamaah, demikian yang dikutip oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam Latha’if Ma’arif.

Baca:

Lantas bagaimana dengan ritualnya? Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebut Shalat Sunnah “Khair” yang berjumlah 100 rakaat, yang dikerjakan dua rakaat, dan tiap rakaat setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Ikhlash 11 kali. Atau, shalat 10 rakaat (dibagi dua rakaat), setiap rakaat setelah al-Fatihah, membaca surat al-Ikhlash 100 kali. Tidak sedikit yang menyebut model shalat sunnah ini sebagai bid’ah seperti yang disebutkan oleh Imam Nawawi. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (ulama sunni Syiria) tidak mengakui model shalat sunnah ini, beliau hanya menganjurkan untuk beribadah pada Malam Nisfu Sya’ban dengan zikir, tasbih, melaksanakan shalat-shalat sunnah yang sudah dikenal dan membaca Al-Qur’an.

Namun hemat kami, shalat sunnah yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali tidak layak disebut bid’ah. Tradisi ini juga diriwayatkan oleh Abu Thalib al-Makki dalam Quthul Qulub, juga dikenal dalam kalangan sufi. Selama shalat sunnah tidak mengubah-ubah, menambah dan mengurangi syarat sahnya, rukun wajibnya, dan bacaan-bacaan dalam shalat, tidak layak disebut bid’ah. Shalat khair artinya shalat untuk kebaikan. Niatnya untuk mencari kebaikan dan keluhuran pada malam ini.

Shalat Taubah dan Baca Surat Yasin

Dua ibadah pada Malam Nifsu Sya’ban yang sering dituding bid’ah, adalah Shalat Taubah (disebut juga Shalat Istighfar) berjamaah di antara Maghrib dan Isya’ serta membaca surat Yasin tiga kali setelahnya. Shalat Taubah bukan shalat bid’ah, tapi sudah dianjurkan oleh Rasulullah Saw:

ما من عبد يذنب ذنبا فيحسن الطهور ثم يقوم فيصلي ركعتين ثم يستغفر الله إلا غفر له

Seorang hamba yang berdosa, kemudian menyucikan diri dengan baik (berwudlu’) kemudiaan berdiri untuk shalat dua rakaat, kemudiaan memohon ampun pada Allah, maka Allah akan mengampuninya. (HR Tirmidzi). Sedangkan waktu-waktu shalat taubah kapan saja, bisa siang hari atau malam hari. Malam Nisfu Sya’ban adalah malam yang istimewa dan waktu yang mustajab bagi doa, mengapa tidak boleh Shalat Taubah pada malam ini? Bahkan, sangat dianjurkan untuk menyesuaikan dengan waktu mustajab ini.

Adapun membaca Surat Yasin tiga kali dengan disertai 3 permohonan yang dikenal: (1) Mohon panjang umur dan hidup penuh berkah (2) Kuat iman dan Islam (3) Dilimpahkan rizki yang banyak, merupakan bentuk-bentuk doa yang sudah dikenal sebelumnya, dan bukan bid’ah. Ini bisa disebut bid’ah kalau meminta kepada selain Allah Swt dan tidak membaca surat Al-Quran. Sementara pembacaan surat Yasin yang merupakan bagian dari surat Al-Quran merupakan keutamaan, karena tidak ada bacaan yang paling utama selain Al-Quran. Tentu saja tidak hanya Surat Yasin yang utama dalam Al-Quran, namun hanya membaca Surat Yasin saja mubah (boleh), asal tidak menambah dan mengurangi ayat-ayatnya—kalau yang terakhir ini baru bid’ah.

Kesimpulan:

1. Malam Nisfu Sya’ban merupakan malam yang istimewa dan waktu yang mustajabah, hal ini ditunjukkan dengan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang telah disebutkan kesahihannya.

2. Malam Nisfu Sya’ban merupakan malam yang tepat dan mustajab untuk berdoa, berzikir, membaca Al-Quran dan memperbanyak ibadah pada Allah Swt.

3. Hanya berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban sumbernya dari hadits da’if (lemah), yang utama adalah memperbanyak puasa pada bulan ini, namun bagi yang sanggup hanya berpuasa pada pertengahan ini dan ikhlas, lebih baik daripada yang tidak berpuasa sama sekali.

4. Shalat “khair” pada Malam Nisfu Sya’ban dengan ratusan rakaat, tidak bersumber dari ajaran langsung Rasulullah Saw menurut ulama hadits, tapi sangat populer di kalangan sufi. Namun shalat ini tidak bisa dituding bid’ah karena tidak mengubah syarat, rukun dan wajib shalat. Shalat ini sebagai wasilah untuk mencari kebaikan dan pengabdian pada Allah Swt. Apabila ragu-ragu melaksanakan shalat “khair” maka shalatlah dengan shalat-shalat sunnah yang sudah dikenal: tahajud, hajat, taubat dll.

5. Shalat Taubah dan membaca Surat Yasin merupakan ibadah yang dianjurkan, tentu saja tidak hanya pada Malam Nisfu Sya’ban saja. Namun yang tidak boleh dilupakan menurut hadits Rasulullah Saw, Malam Nisfu Sya’ban adalah malam yang istimewa dan waktu yang mustajab untuk berdoa dan beribadah.

Semoga tulisan ini bisa memberikan tambahan informasi bagi yang ingin giat beribadah pada Malam Nisfu Sya’ban tanpa ditakut-takuti dengan tuduhan bid’ah dan khurafat. Mari kita isi dan giatkan pada Malam Nisfu Sya’ban dengan sunnah-sunnah yang baik, shalat, zikir, tahlil, tasbih, tahmid, membaca Al-Quran. Sesuai Sabda Rasulullah Saw:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ . وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Dari Jarir bin Abdillah Ra berkata: telah bersabda Rasulullah Sallahu alaihi wa sallama: “Barang siapa yang melakukan tradisi yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari tradisi itu dan pahala dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang melakukan tradisi yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

Wallahu A’lam

(suaraislam)

Loading...