Langkah Orangtua Menangkal Radikalisasi Dan Intoleransi Untuk Anak

Ibu Nyai Sinta Nuriyah Wahid

Saat ini gerakan radikal dan sikap intoleran sedang merasuk ke dalam mental dan pola pikir generasi muda, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini tercermin dari hasil riset yang menunjukkan mayoritas mahasiswa, pelajar dan masyarakat menginginkan penerapan syariat Islam dan ideologi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Data SEM Institut yang melakukan penelitian tahun 2009 menunjukkan, 72 persen masyarakat Indonesia setuju penerapan syariat Islam, 18 persen tidak setuju dan 10 persen netral.

Hasil penelitian Lembaga Kajian GMPI yang melakukan survey di kalangan mahasiswa di kampus-kampus Besar di Indonesia (UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri, Unsiah) menunjukkan, 80 persen mahasiswa Indonesia menginginkan syariah Islam, 15 persen sosialis dan 5 persen Pancasila. Sedangkan Lembaga Kajian Islam dan Pembangunan (LaKIP) menunjukkan, 76 persen pelajar di Jabodetabek menginginkan syariah Islam, 17 persen ideologi fanky dan 7 persen Pancasila.

Survey Wahid Foundation (WF) bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan, dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci, yang berlatar belakang agama non muslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya.

Ini artinya, 59,9 persen responden memiliki rasa benci terhadap nonmuslim, etnis Tionghoa, Komunis dan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Dampak dari rasa benci itu membuat mereka tidak setuju jika anggota kelompok yang mereka benci itu menjadi pejabat pemerintah Indonesia.

Ada 92,2 persen dari jumlah 59,9 persen yang bersikap demikian. Selain menolak menjadi pejabat, sebanyak 82,4 persen dari mereka, tidak rela jika anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Data lain dari survey WF dan LSI menunjukkan, sebanyak 49 persen masyarakat Indonesia berpotensi bersikap intoleran, baik terhadap sesama muslim maupun non muslim.

Sikap ini antara lain bisa berupa ketidakrelaan bertetangga dengan kelompok-kelompok yang dibenci, maupun ketidaksukaan terhadap kelompok yang dibenci mengisi jabatan-jabatan publik.

Sementara sebanyak 43,4 persen responden bersikap netral (cenderung toleran), 0,6 persen toleran, 7 persen bersikap netral cenderung intoleran. Dalam survey ini juga diteliti, sikap toleransi dan intoleransi umat Islam terhadap non muslim. Hasilnya, 40,4 persen responden menjawab bisa toleran, 38,4 persen menjawab bersikap intoleran.

Survey ini juga menyebutkan, 7,7 persen responden menyebut bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan. Sementara 0,4 persen responden menyebut pernah bertindak radikal yang mengatasnamakan agama, semisal sweeping, penyerangan tempat ibadah non muslim, dan menyumbang materi untuk kegiatan radikal.

Sisanya 19,9 persen tidak punya sikap. Meskipun dari segi prosentasi masih terlihat kecil, namun ini merupakan potensi cukup mengkhawatirkan. Jika angka ini diproyeksikan terhadap sekitar 150 juta muslim Indonesia, maka 7,7 persen atau 11,5 juta orang berpotensi bertindak radikal dan 0,4 persen atau 600 ribu bersedia melakukan tindakan radikal. Angka-angka ini merupakan warning bagi bangsa Indonesia agar tetap waspada menghadapi radikalisme agama.

Data-data ini menunjukkan, ada korelasi yang signifikan antara sikap intoleran dan kecenderungan radikal dengan pilihan ideologi. Semakin tinggi keinginan menerapkan syariah Islam, semakin tinggi kecenderungan bersikap intoleran dan radikal.

Selain itu, data-data di atas juga menunjukkan keberhasilan gerakan Islam puritan skripturalis fundamentalis dalam melakuakan brain wash kepada generasi muda dan mahasiswa, sehingga anak-anak muda ini bisa terperangkap dalam gerakan radikal dan pemikiran yang eksklusif-intoleran. Ini merupakan ancaman yang membahayakan bagi keberagaman yang ada di NKRI

Keberhasilan kelompok radikal mencuci otak dan membentuk sikap intoleran dan radikal generasi muda ini, dilakukan melalui halaqah-halaqah keagamaan yang dilakukan di kampus-kampus dan sekolah, melalui kegiatan kegiatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Unit Kerohanian Islam Sekolah (Rohis).

Kelompok-kelompok radikal ini secara intens dan massif masuk menjadi penceramah, pembimbing pengajian dan menguasai kepengurusan di LDK dan Rohis. Karena dibungkus dengan pengajian dan kegiatan keagamaan, kebanyakan para pengelola kampus dan sekolah tidak curiga dan membiarkan kegiatan tersebut berlangsung tanpa pengawasan.

Akibatnya, kelompok radikal bebas dan leluasa melakukan indoktrinasi dan provokasi kepada generasi muda dan mahasiswa, hingga akhirnya mereka hanyut dan terkontaminasi oleh pemikiran dan gerakan Islam yang radikal tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu pengawasan dan control yang ketat dari pihak pimpinan kampus dan sekolah terhadap meteri pengajian, isi ceramah dan kegiatan keagamaan para mahasiswa.

Isi ceramah yang provokatif, pemikiran keagamaan yang radikal-fundamentalis serta kegiatan keagamaan yang eksklusif, perlu dihentikan dan dicegah. Para penceramah yang mengajarkan pemikiran radikal-eksklusif dan provokatif, harus disingkirkan dan diganti dengan penceramah dan pembimbing lain yang memiliki pemikiran dan wawasan keagamaan yang lebih inklusif, toleran dan moderat, yang sesuai dengan realitas keberagaman masyarakat Indonesia.

Selain para pembimbing dan penceramah, yang perlu dikontrol dan diawasi adalah para pengurus LDK dan Rohis. Kedua posisi tersebut harus diisi oleh mahasiswa dan pelajar yang memiliki pemikiran keagamaan yang moderat dan toleran, agar mereka bisa memnbendung para penceramah yang akan memprovokasi mereka dengan pemahaman yang radikal-fundamentalis skripturalis.

Pendampingan pada para mahasiswa dan pelajar ini, harus dilakukan secara intens agar para aktifis islam kampus dan sekolah, memiliki daya tahan yang kokoh dari gempuran kaum radikal-fundamentalis.

Bagi orang tua, perlu ada pengawasan yang intens terhadap aktivitas keagamaan anak-anaknya. Sudah terbukti banyak anak yang dicuri dan hanyut dalam arus ideologi findamentalis-radikal sehingga menjadi anak “hilang”. Anak-anak ini memang tidak hilang secara fisik, tetapi hilang secara ideologis, karena tega mengkafirkan dan menyesatkan orang tuanya, bahkan rela meninggalkan orang tua demi mempertahanakan ideologi keislamannya.

Pengawasan ini bisa dilakukan secara fisik, yaitu memantau secara langsung kegiatan keagamaan anak-anak. Menanyakan apa isi ceramah keagamaan yang disampaikan oleh para penceramah, pemahaman keagamaan seperti apa yang ditanamkan, sampai pada buku-buku keagamaan yang dibaca. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau mengarah pada pemikiran dan tindakan yang eksklusif-intoleran, maka secepatnya harus dihentikan sebelum anak-anak ini berubah menjadi radikal.

Secara psikologis, orang tua dapat melakukan dialog dari hati ke hati dengan anaknya mengenai pemahaman keagamaan, kemudian sering mengajak mereka berinteraksi dengan kelompok lain yang berbeda, baik secara agama maupun faham keagamaan, untuk menumbuhkana rasa emphatic dan menumbuhkan pengertian atas perbedaan. Ini perlu dilakukan, karena pengalaman menghadapi perbedaan melalui interaksi langsung, merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan sikap toleran dan inklusif

Selanjutnya, orang tua perlu sesekali mengajak anak-anak untuk bertemu dan sowan pada ulama atau kiai yang memiliki pemikiran keagamaan yang moderat dan toleran, kemudian berdialog dengan mereka tentang agama dengan dalil-dalil dan penafsiran yang lebih konprehensif dan terbuka. Hal ini untuk membuka pemikiran dan wawasan anak-anak, bahwa pemikiran keagamaan itu sangat luas dan kaya, bukan monolitik seperti yang diajarkan oleh para penceramah radikal-fundamentalis.

Inilah yang perlu dilakukan oleh orang tua dan para pendidik untuk menangkal tumbuhnya sikap radikal dan intoleran, serta pemikiran keagamaan yang inklusif-fundamentalis.

Hal ini harus dilakukan secara intens dan kontinyu, karena gerakan kaum radikal berjalan secara massif, intensif dan kontinyu. Mereka rela melakukan apapun untuk mencuri anak-anak kita, dan meracuni pemikirannya, karena mereka yakin bahwa hal itu merupakan bagian dari Jihad yang harus mereka lakukan.

Di atas semua ini, yang paling penting adalah merajut hati melalui hubungan cinta kasih yang kokoh antara orang tua dan anak. Karena hati yang sudah terajut akan sulit untuk dipisahkan dan dicuri.

Dra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum

*Tulisan ini disampaikan oleh Penulis di acara Talk Show “Perempuan dan Kebhinekaan” Hari Senin, 10 Maret 2017 yang diselenggarakan oleh Perempuan Peduli Kota Jakarta (PPKJ)

(suaraislam)

Loading...