Direktur AMAN (The Asian Muslim Action Network) Indonesia, Ruby Khalifah, dalam diskusi bertajuk “Perempuan Jakarta Menebar dan Merawat Kebhinekaan Indonesia” di Rumah Cemara, Menteng, Jakarta Pusat menyatakan syarat bagi tercapainya pemenuhan hak-hak kaum perempuan adalah demokrasi. Formalisasi syariat Islam dalam bentuk apapun, dikhawatirkan mengancam keberagaman dan demokrasi.
Kemudian Ruby menjelaskan, isu keberagaman atau kebhinekaan bukanlah isu laki-laki, melainkan sangat menyentuh kehidupan perempuan. Karena itu, perempuan menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan jika konsep Jakarta Bersyariat diimplementasikan.
“Sebagai way of life, saya sih setuju, tapi kalau sudah diformalisasi, dikhawatirkan tidak sesuai wajah Islam yang mengajarkan liberisasi,” katanya.
Ruby mengungkapkan saat ini semakin terasa bibit-bibit intoleransi, menjadi momentum penting bagi semua pihak untuk menegaskan kembali komitmen bangsa ini sesuai nilai UUD 45 yakni merawat kebhinekaan.
Dia juga mengutip data hasil survei Wahid Insitute pada pertengahan tahun 2016 lalu yang menyimpulkan bahwa Indonesia masih rawan intoleransi dan radikalisme. Dari 1520 responden (umat muslim), 59% memiliki kelompok yang dibenci dan meliputi mereka yang berlatar belakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis dan lain-lain.
Baca:
- Muhammadiyah: Konsep Jakarta Bersyariah Anies-Sandi Tidak Jelas
- NU: Jualan “Jakarta Bersyariah” Anies-Sandi Tak Akan Laku
- Intelektual Muda NU: “Jakarta Syariah” Anies Sandi Jualan Kelompok Radikal dan Ekstrimis
Dari jumlah 59,9% itu, sebanyak 92,2% tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. 82,4% responden bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Kini, dikatakan Ruby, bola panas berada di tangan pemerintah. Namun faktanya pemerintah pusat dinilai tidak mengantongi penuh legitimasi untuk memastikan kebhinekaan itu diimplementasikan di Indonesia.
Padahal tahun 2014, Jakarta memiliki angka Index Demokrasi yang cukup tinggi yakni 84,70. Artinya masyarakat masih dapat menikmati kebebasan untuk berkumpul, berpendapat dan berkeyakinan. Dari 10 komponen yang dinilai dan mendapat angka di atas 80, menurut Ruby, peran DPRD justru mendapat angka yang cukup rendah, yakni 60 saja.
“Padahal (peran) DPRD penting untuk memproduksi aturan untuk kehidupan berbangsa, kalau tak memiliki cara pandang kuat terhadap persoalan kebangsaan dan tingginya intoleransi tentunya produk-produk yang dilahirkan sangat diskriminatif. Komnas Perempuan saja menemukan sedikitnya ada 400 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan,” ucapnya.
“Keberagaman adalah hal yang sangat natural, gak mungkin diseragamkan, hanya orang konyol yang mau menyeragamkan. Mengklaim kebenaran tunggal”, pungkasnya.
(merdeka.com/suaraislam)