Keberagaman sedianya disyukuri masyarakat Indonesia. Dengan keberagaman itu Tuhan telah memberikan penghargaan bagi manusia yang hidup di dalamnya untuk bisa belajar banyak hal dari perbedaan yang ada.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj dalam peluncuran buku “Miqat Kebinekaan” karya Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, di gedung PBNU, Jakarta, Jumat (9/6/2017).
“Jadi, kita sebagai masyarakat Indonesia yang didesain Tuhan sebagai masyarakat yang beragam, tidak satu bahasa, tidak satu agama, dan tidak satu warna. Ini bahwa kita mendapatkan penghargaan dari Tuhan untuk hidup sebagai bangsa yang bhineka dan beragam, tidak homogen,” kata Said.
Baca:
- Gus Sholah: Khilafah Hanya Akan Menyulut Konflik
- Silaturahim Ramadan di Halaman Gereja: NKRI Itu Harga Mati!
Menurut Said, anugerah keberagaman dari Tuhan ini telah ditangkap oleh pendiri NU KH Hasyim Al Asy’ari yang pada 1914 menyatakan bahwa Islam dan nasionalisme harus saling memperkuat dan antara keduanya tidak boleh dipertentangkan.
Pernyataan ini pun membuat heran para ulama dari Arab Saudi di kala itu. Para ulama Arab masih merasa asing dengan paham nasionalisme.
Menurut para ulama Arab, nasionalisme merupakan paham sekuler yang serupa dengan sosialis.
“Arab saat itu masih menolak paham nasionalisme karena itu Paham asing. Tapi di kita, oleh KH Hasyim ditegaskan bahwa nasionalisme sebagian dari Iman kepada Allah,” kata Said.
Oleh karena itu, lanjut Said, nasionalisme dan keimanan umat Islam merupakan satu bagian yang tak bisa dipisahkan jika berbicara dalam konteks bernegara dan bermasyarakat.
“Jadi keimanan umat Islam belum sempurna kalau belum ada semangat nasionalisme. Walaupun sudah shalat, haji umroh, belum sempurna,” kata Said.
(kompascom/suaraislam)