Ketika Masjid Dijadikan Ruang Intimidasi

Kenapa saya memposting isu ini terus menerus?

Karena bagi saya kedegilan seperti ini makin tidak lucu. Makin memuakkan.

Hanya untuk kepentingan politik, mereka menolak kewajiban yang Allah perintahkan. Kewajibannya kepada sesama muslim untuk mengurus jenazah tetangganya. Mereka tunggangi mesjid untuk kepentingan politik. Mereka menjadikan masjid sebagai sarana intimidasi kepada yang berbeda pandangan politik.

Mereka lekatkan sebutan buruk (munafiq) hanya karena orang memiliki pilihan berbeda. Dan kita tahu, itu semua dilakukan hanya untuk mengintimidasi dan memenangkan Cagub pilihannya. Saat sekarang ini, spanduk tersebut nilainya tidak lebih dari selebaran kampanye Pilgub. Tapi itu dipasang di masjid. Di serambi rumah Allah.

(Baca: MUI: Islam Tidak Melarang Menyalati yang Beda Pilihan Politik)

Dengan kata lain, mereka menstempel seseorang sebagai munafik hanya karena tidak mau memilih Anies dan Sandi dalam Pilkada? Caelah, aneh banget ukuran seperti itu.

Bisakah kita bayangkan jika orang-orang seperti ini memiliki kekuasaan politik?

Baru jadi pengurus mesjid saja sudah merasa memiliki kunci surga. Padahal pembangunan mesjid itu didapat dari dana seluruh umat. Sering juga ‘ngocrek’ di jalan, bahkan tidak pernah bertanya apa agama mereka yang menyumbang. Operasionalnya juga meminta dari umat. Bukan dari kocek mereka. Lalu apa hak mereka menguasainya untuk kepentingannya sendiri? Apa hak mereka ‘mengusir’ orang-orang yang berbeda pandangan politik keluar dari tempat bersujud?

Tapi saya yakin, masih banyak mesjid yang adem. Mesjid yang berfungsi memayungi seluruh jemaah tanpa memandang ras, tingkat ekonomi, kepentingan sosial dan afiliasi politik. Mesjid-mesjid yang ketika kita memasukinya, serasa bahwa beragama memang memberi keteduhan.

(Baca: KH Said Aqil Siradj & Dalil Memilih Ahok)

Masih banyak pengurus mesjid yang sadar, bahwa yang sedang diurusnya itu adalah rumah Allah. Tempat dimana semua umat Islam dapat menempelkan keningnya ke lantai saat bersujud. Tempat dimana semua perbedaan tidak lagi dipersoalkan.

Sebab ketika datang ke masjid, setiap orang harus melepaskan status dan pangkat. Siapapun dia, ketika di dalam masjid, dia hanya seorang hamba. Bukan polisi, bukan jaksa, bukan politisi, bukan pengusaha, tukang ojek, bukan pengangguran. Bukan juga habaib dan ulama. Bukan kaya atau miskin. Di dalam masjid, manusia hanya hamba dari Tuhannya.

Memasuki masjid sejatinya adalah memasuki ruang kemanusiaan. Memasuki areal di mana nama Allah dan Rasulnya disebut dengan perasaan takjub. Duduk di mesjid, semestinya yang pertama kita rasakan adalah sifat Rahman dan Rahimnya Allah. Sifat penyayangnya Rasulullah. Sifat rahmatan lil alaminnya,

Sebab di mesjid, di rumah Allah, sesungguhnya kita semua adalah tamu. Kita adalah musafir kehausan yang berharap disuguhkan segelas air bening oleh Sang Pemilik Rumah.

Jika ada yang merasa paling berhak atas masjid, dia cuma sedang berusaha merampas rumah itu dari pemilik sejatinya.

Eko Kuntadhi

(ekokuntadhi.com/biarnyaho)

Loading...