Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah, Dian Yulia Novi alias Ayatul Nissa Binti Asnawi, Zakiah Aini, dan yang terbaru di hari ini adalah para wanita yang ditangkap dan/atau dilumpuhkan karena terlibat tindak pidana terorisme di Indonesia, yang wajahnya dipublikasi di media.
Mereka ini mampu masuk ke zona steril instalasi vital negara, zona yang seharusnya harus steril dari orang-orang yang tidak berkepentingan dan/atau tidak memiliki kredensial untuk berada di zona tersebut.
Kenapa mereka bisa masuk sampai ke dalam zona steril tersebut? Jawabannya adalah ada 2 kondisi psikologis yang mampu mereka eksploitasi.
Yang pertama: Perempuan dianggap sebagai orang yang tidak berbahaya untuk melakukan aksi kriminal luar biasa.
Aparat keamanan, dan aparat penegak hukum di Indonesia masih menganggap bahwa perempuan itu berbeda dengan laki-laki dalam niat melakukan aksi tindak pidana, apalagi tindak pidana terorisme. Jangankan aksi terorisme, coba amati saja perlakukan satpam-satpam di mall, gedung pemerintah, dan banyak fasilitas publik lainnya yang lebih serius melakukan pemeriksaan keamanan kepada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Security awareness ini lantas diterjemahkan dalam pergelaran personil pengamanan yang didominasi oleh laki-laki sedangkan personil perempuan biasanya sangat minoritas. Ini adalah celah psikologis dan operasional yang mampu dieksploitasi oleh para pelaku tindak pidana terorisme.
Yang kedua: Perempuan dengan busana syar’i dianggap sebagai perempuan agamis sehingga aparat enggan dianggap phobia terhadap agama tertentu.
Indonesia saat ini sangat kuat sekali politik identitas agama, yang sayangnya, ditunjukkan dengan simbol pakaian. Ini kemudian menciptakan persepsi bahwa perempuan-perempuan seperti gambar di atas adalah orang-orang agamis yang merepresentasi agama mereka. Kondisi ini membuat ada keengganan, bahkan mungkin, secara psikologis, ketakutan dari aparat keamanan untuk melakukan/menjalankan protokol pengamanan yang baik dalam memeriksa mereka karena takut dicap sebagai orang yang anti agama tertentu.
Hal ini diperparah dengan dukungan yang biasanya muncul di publik oleh orang-orang, terutama pelaku dan penikmat politik identitas agama, yang secara sadar turut menormalkan proses reduksi agama menjadi sekedar simbol pakaian saja.
Dua situasi psikologis di atas, apalagi jika digabung, akan mampu mengekspoloitasi kondisi psikologis aparat keamanan, dan ini sangat dimengerti oleh kelompok teroris di Indonesia. Mereka sangat nyaman dalam normalisasi politik identitas di Indonesia karena mereka merasa ada kelompok yang mendukung aksi-aksi mereka.
Inilah kesamaan para perempuan pelaku teror yang wajah dan penampilan mereka sudah terpublikasi di berbagai media di Indonesia. Mereka menikmati celah-celah keamanan yang ‘dinormalkan’ oleh praktik-praktik sempit politik identitas, dan persepsi keamanan berdasarkan konstruksi gender yang terjadi di Indonesia.
Beruntung saja bahwa mereka-mereka yang sudah ditangkap dan/atau dilumpuhkan adalah bukan orang-orang dengan kemampuan taktis perang yang cukup, dan juga kita beruntung bahwa dalam operasi-operasi yang dilakukan oleh aparat anti teror kita, khususnya Densus 88, para ahli-ahli pembuat bahan peledak sudah dikirim menemui pencipta mereka.
Alto L
(Suara Islam)