Abdurrahman Wahid atau kerap dipanggil Gus Dur merupakan pejuang hak untuk warga minoritas yang tertindas. Meskipun sudah sebelas tahun Gus Dur wafat, pemikiran semasa hidupnya tetap relevan bagi warga lintas etnis dan agama.
Perjuangan Gus Dur membuka keran kesetaraan untuk kaum minoritas, khususnya kelompok Tionghoa, menjadi tonggak sejarah kebangsaan Indonesia. Tidak hanya etnis Tionghoa, Gus Dur juga membela kelompok-kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif baik dari sisi struktur negara, ideologi politik, maupun norma sosial.
Gagasan tentang toleransi antaretnis, agama, dan golongan didapatkan Gus Dur dari kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, dan ayahnya, KH Wahid Hasyim, yang pada masa revolusi ikut mengawal kemerdekaan Indonesia. Pengaruh pendidikan Gus Dur, sejak dari pesantren sampai kuliah di Timur Tengah untuk mempelajari ajaran Islam, juga menguatkan Gus Dur dalam memahami masalah bangsa.
Pemikiran, sepak terjang, dan kontribusi penerus dalam membela minoritas ini dirangkum oleh Munawir Aziz dalam Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas, dan Strategi Kebudayaan (2021). Penulisan buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini bermula dari riset penulis yang menggeluti isu dan kajian seputar Tionghoa Indonesia.
Terbagi dalam tujuh bab, pegiat di jaringan GusDurian ini membedah akar pemasalahan politik diskriminasi yang menimpa golongan Tionghoa dengan menggunakan perspektif sejarah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Gus Dur yang menggunakan peristiwa masa lampau sebagai cermin masa depan untuk mengambil aksi sekaligus kebijakan yang berdampak positif bagi kemanusiaan.
Dalam sejarahnya, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terjadi sejak zaman kolonial Hindia Belanda setelah pemberlakuan kebijakan wijkenstelsel yang mengatur komunitas Tionghoa untuk tinggal di kawasan khusus. Ini membuat interaksinya dengan penduduk lain terbatas dan menciptakan stigma negatif golongan Tionghoa dianggap eksklusif. Predikat ini terus melekat sehingga kelompok Tionghoa menjadi ”kambing hitam” ketika isu rasialisme merebak.
Perbedaan perlakuan terhadap kelompok Tionghoa berlanjut hingga Orde Baru. Kondisi ini menggerakkan Gus Dur untuk menyelesaikan politik diskriminasi menggunakan jalan kebudayaan. Gus Dur berangkat dari titik pijak nilai-nilai keislaman yang ia pelajari dalam mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar setiap manusia. Inilah fondasi perjuangan Gus Dur untuk melindungi kelompok minoritas sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
Jalan perjuangannya membela kelompok Tionghoa berbuah saat Gus Dur menjadi Presiden Indonesia (1999-2001) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Ketentuan yang mencabut Inpres nomer 14 tahun 1967 ini menjadi payung hukum bagi warga Tionghoa mengekspresikan kebudayaan dan kebebasan menjalankan agamanya seperti halnya agama lain. Atas jasa besar Gus Dur, pada 10 Maret 2004 warga Tionghoa di Semarang mengangkat Presiden Indonesia ke-4 ini sebagai ”Bapak Tionghoa Indonesia”.
Martinus Danang, Litbang Kompas
Sumber: kompas.id
(Suara Islam)