Bung Karno dan Asal-usul, Makna serta Kegiatan Halal bi Halal

Bung Karno (googleimage)

Kegiatan halal bihalal ini dimulai sejak jaman KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Kegiatan ini berlàngsung setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai agung istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.

Akan tetapi itu baru kegiatannya, bukan nama dari kegiatannya. Kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah “Halal bi Halal”, meskipun esensinya sudah ada.

Tapi istilah “halal bi halal” ini secara nyata baru muncul setelah th 1948 atau 3 th setelah proklamasi kemerdekaan.

Pada tahun 1948, yaitu di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno yang prihatin akan situasì politik dì dalam negeri (jika dibiarkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa) memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.

Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan untuk bersilaturrahmi.

Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan istilah biasa, saya maunya istilah yang lain yang lebih menarik”.

“Itu gampang”, kata Kiai Wahab. “Begini, para pentolan politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga dàlam silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal'”, jelas Kiai Wahab.

Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberinya judul: ‘Halal bi Halal’.

Ini merupakan gagasan murni dan inisiatif sang Pemimpin Besar Revolusi kita itu.

Dan akhirnya para elite politik bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, di instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan acara Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.

Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya.

Dengan demikian, inilah salah satu solusi mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan dengan cara saling memaafkan (Halal bi Halal).

(jr dr brbagai sumber/suaraislam)

Loading...