
Saya Bangga dengan perempuan yang bertanya hampir setiap Ramadhan, bolehkah perempuan Haidh berpuasa? Sebab di saat banyak orang tidak berpuasa tampa alasan apapun, perempuan haidh dengan beban reproduksinya masih ingin berpuasa. Dari aspek ini, ia hebat.
Dua tahun sebelum ini, saya menulis “bahwa perempuan yang sedang Haidh boleh puasa”. Namun tulisan itu banyak ditolak. Pandangan saya ketika itu didasarkan pada tiga alasan:
Pertama : Dalam Al Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan Haidh untuk puasa.
Ayat yang menjelaskan tentang Haidh hanya menegaskan dua hal, yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci. Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti shalat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.
Kedua, perempuan yang haidh lebih mirip disebut sebagai orang yang sakit (Al Qur’an menyebutnya adza). Sebagaimana penjelasan Al Qur’an bahwa orang sakit dan orang yg dalam perjalanan diberi dispensasi (rukhshah) antara menjalankan puasa atau meninggalkannya dengan mengganti di hari yang lain. Maka perempuan haid seharusnya juga mendapat “rukhshah” antara melakukan puasa dan tidak. Jika perempuan memilih melakukannya karena haidhnya tidak mengganggu kesehatannya, maka boleh.
Ketiga, Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ummahatul mukminin Sayyidah A’isyah Ra, dan riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang shalat bagi perempuan Haidh, dan tidak melarang puasa.
Memang ada hadist Nabi yang sepintas melarang perempuan haid berpuasa, namun hadist itu juga bisa dipahami sebaliknya. Hadist itu berbunyi:
حديث معاذة: ” إنها سألت عائشة رضى الله عنها: ما بال الحائض تقضى الصوم ولا تقضى الصلاة؟ فقالت: كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة ” رواه الجماعة.( صحيح)
Mu’adzah bertanya pada Sayyidah A’isyah , bagaimana dengan keadaan perempuan Haidh, mengapa ia melaksanakan puasa, tetapi tidak melaksanakan shalat? Sayyidah A’isyah menjawab, hal itu pernah terjadi pada kami di masa Rasulullah, maka kami (perempuan) di perintahkan untuk melaksanakan puasa, dan tidak diperintahkan melaksanakan shalat”.
Kata ” تقضي ” dalam hadist umumnya dimaknai “mengganti di luar waktunya”. Namun sesungguhnya sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya”. Sebab kata kata ” قضي ” di dalam Al Qur’an pada umumnya bermakna melaksanakan di dalam waktu nya.
Seperti ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُم مَّنَـٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ ” juga ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ ” dan ayat ayat lainnya. Kata ” قضي ” dalam kedua ayat ini bermakna “melaksanakan ibadah sesuai dengan waktu yg ditentukan”, bukan makna mengqadha’ dalam arti mengganti.
Kata ” قضي ” dengan makna mengganti nyaris tidak dikenal dalam sejarah awal Islam. Kata ” قضي ” dengan makna mengganti baru dikenal dalam mushtalahat fuqaha’.
Apapun Hasil penafsiran terhadap ayat dan hadits Nabi tengtang perempuan haid dan puasa, adalah bersifat ijtihadi, jadi kebenaran dalam masalah ini juga bersifat ijtihadi.
Tulisan ini bukan Fatwa, sangat senang jika ada yang mengkoreksi nya, dan tentu sangat berterima kasih atas kritiknya.
Sumber: KH Imam Nakha’i
(Suara Islam)