“Berapa bayarannya, bang ?”
Tiba-tiba saya tersentak. Ada perasaan campur aduk yang bergolak di dada. Entah ini rasa apa, kopi, teh atau susu-kah..
Temanku menghubungi aku untuk meminta pekerjaan. Dia sudah lama menganggur dan tidak jelas apa yang dia kerjakan. Semakin lama usianya bertambah menuntut dia untuk menghasilkan. Tanpa punya banyak pengalaman, tanpa spesialisasi apalagi jaringan.
Saya mengundang dia untuk sekedar minum kopi di warung. Ada rasa kasihan dan keinginan untuk menariknya keatas supaya dia bisa memperbaiki ekonomi dan martabat dirinya.
Tetapi apa yang saya dapat membuat saya terhenyak, ia yang duluan bertanya bayaran untuknya berapa.
Pada waktu dulu awal mencari kerja, saya adalah orang yang sangat tahu diri. Saya melamar ke sebuah perusahaan. Saya sibuk mencari pekerjaan, bukan meminta-minta kepada orang yang saya kenal.
Karena memposisikan diri sebagai pencari, maka saya tidak memperdulikan berapa yang saya dapat setiap bulan. Saya selalu menyerahkan semua kepada pemilik perusahaan. “Berapa saya layak diberikan…” begitu jawab saya ketika ditanya mau dapat gaji berapa per bulan.
Saya adalah pembeli pengalaman. Buat saya kerja itu eksistensi, bukan uang. Uang adalah dampak dari apa yang kita hasilkan. Semakin kita matang, tentu ada harapan supaya penghasilan berkembang.
Dan ketika perusahaan tidak mampu atau tidak mau menghargai kelayakan sesuai perkembangan kita, baik dari sisi posisi maupun pendapatan, maka lebih baik keluar dan mencari tantangan yang lebih tinggi.
Sekali lagi, yang dicari tantangan. Uang mengikuti.
Saya tidak merasa rugi, karena sebenarnya saya membeli pengalaman dari tempat bekerja. Karena proses itu tidak instan – hitung hitung sekolah gratis tapi di bayar.
Lalu ketika teman saya yang sedang menganggur, butuh eksistensi ini bertanya, “Berapa saya dibayar ?” Entah kenapa saya merasa sedih.
Ada orang yang mengukur dirinya dengan uang. Dia menciptakan ukurannya sendiri bukan berdasarkan apa kebutuhannya, tetapi berdasarkan keinginannya.
Ia melihat dari pandangan dirinya pribadi, bukan dari pandangan orang lain yang ingin menerimanya.
Ketika saya sudah diundang kesana kemari untuk menjadi pembicara, selalu pengundang bertanya, “Berapa saya harus bayar abang ?” Saya suka tersenyum ketika saya berada di fase orang yang menghargai berapa dan bukan saya yang menghargai harga saya berapa.
Dan sampai sekarang pun saya tidak pernah menetapkan harga saya berapa. Karena uang bukan ukuran. Saya yakin rejeki datang dari mana saja ketika kita tidak mengukur diri sendiri. Biar Tuhan menentukan berapa harga kita sebenarnya, dan jelas jauh lebih besar dari ukuran manusia.
Ternyata prinsip saya itu benar adanya.
Rejeki malah bukan datang dari jadi pembicara, tetapi datang karena kepercayaan dari banyaknya teman yang melihat uang bukan segalanya bagi saya.
Banyak tawaran kerjasama yang jauh lebih besar nilainya. Saya merasa menjadi manusia yang dinilai berdasarkan apa yang saya miliki daripada angka yang saya tetapkan. Saya punya nilai, bukan punya harga.
Kuseruput kopiku dan kusenyumi teman di hadapanku. “Nanti kuhubungi kalau saya butuh kamu, ya…” Dia terlihat kecewa karena merasa itu penolakan halus baginya. Biarlah, setidaknya itu bisa menjadi pembelajaran baginya supaya dia berpikir dan mulai melihat nilai dari dirinya bukan berapa harga dirinya.
Begitu banyak kegagalan yang terjadi dalam kehidupan manusia bukan karena peluang itu tidak ada, tetapi karena manusia itu yang menggagalkannya. Dan menariknya – ketika manusia gagal, ia cenderung menyalahkan Tuhan atas kegagalannya.
“Ini ujian…” adalah kata yang sering saya dengar dari mereka yang kalah.
Setidaknya secangkir kopi bisa menghibur temanku saat ini. Kopi tidak pernah berhitung berapa yang ia dapat. Ia bisa ada di kafe seharga 60 ribuan, bahkan di warkop seharga 3 ribuan.
Karena bagi kopi, ia sebenarnya adalah nilai.
Nilai dirinya adalah memberi kenikmatan bagi sekitarnya. Uang itu hanya dampak dan nilai terendah berdasarkan kesepakatan manusia belaka.
Denny Siregar
(dennysiregarcom/suaraislam)