Besarnya populasi umat Islam di Indonesia menjadikan Negara kita sebagai salahsatu Negara yang memiliki jumah masjid yang begitu banyak, data terakhir yang penulis ketahui masjid di Indonesia berjumlah 800.000 yang tersebar dari seluruh pulau dari sabang sampai merauke.
Potensi besar yang dimiliki masjid pun nampaknya dilirik oleh politikus-politikus yang menurut saya tak tahu diri, yang ingin menjadikan masjid sebagai salah satu kendaraan politik demi memuaskan nafsu berkuasa mereka.
Sebut saja Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dalam sebuah video kampanye partainya yang ingin menjadikan masjid sebagai basis politik. Selain Sera, ada juga Amien Rais, lebih parah dari Sera, Amien Rais malah menganjurkan agar dalam pengjian-pengajian dan ceramah-ceramah di masjid atau di kegiatan keagamaan lainnya harus diselipkan dengan politik.
Politisasi masjid kini bukan sekedar wacana belaka, berapa banyak masjid-masjid yang kini khutbah Jumatnya mengandung unsur-unsur politis, contohnya saat Pilkada DKI lalu, panggung khutbah Jumat dan ceramah berperan besar dalam framing Ahok sebagai penista agama dan haram untuk memilihnya, tak sampai disitu saja, saat masa-masa terakhir menjelang pemilihan bahkan muncul kampanye haram menshalatkan jenazah pemilih Ahok.
Pada 2018 ini muncul juga kasus baru, baliho berukuran raksasa dengan tulisan #2019 GantiPresiden di pasang tepat di depan masjid di Sumatera.
Mungkin ada yang bertanya, memangnya tidak boleh politik masuk ke dalam masjid atau pengajian?
Tentu saja boleh, tapi politik yang seperti apa dulu? Jika yang dimaksud adalah politik praktis yang memiliki potensi memecah belah umat, bagi saya haram hukumnya.
Saya jadi teringat perkataan dari salah satu guru sepuh kita Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii, beliau mengatakan “Kalau politiknya politik tinggi (tidak masalah). Tapi kalau politik tujuannya untuk kaitan Pilkada, Pemilu, cari pengikut, itu tidak benar”.
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin, ada dua hal yang harus dipahami dari politik. Pertama, politik substantif, disini agama memiliki keterkaitan erat dengan politik, karna dalam politik ini berbicara tentang keadilan sosial dan pemenuhan hak dasar manusia, nah politik seperti inilah yang malah wajib disampaikan di mimbar-mimbar masjid dana cara keagamaan lainnya.
Kedua politik praktis yang tujuannya adalah menang-kalah, mendukung Paslon A danPaslon B, politik jenis ini sangat berbahaya jika sampai masuk ke masjid.
Kenapa bahaya? Kan kita hanya ingin mendukung Paslon idola kita.
Pertama mari kita lihat kembali fungsi masjid dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Qur’an Surah An-Nurayat 36-37 Allah SWT berfirman yang artinya:
“Di rumah-rumah yang disana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.”
Pada ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa fungsi utama dari masjid adalah untuk beribadah, serta menjadi tempat untuk berdzikir dan bertasbih mensucikanNya. Bukan untuk dijadikan sebagai tempat mempromosikan calon-calon yang sedang bertarung dalam kancah politik praktis.
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya:
“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azzawa Jalla, shalat, dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).
Hadits di atas juga memiliki makna yang senada dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa fungsi masjid adalah tempat untuk beribadah, untuk kita shalat, berdzikir serta membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jika dihubungkan dengan politik praktis, tentunya akan sangat tidak pantas jika tempat suci yang fungsi utamanya untuk beribadah demi mendekatkan diri kepada Tuhan malah menjadi panggung-panggung kampanye dari golongan-golongan tertentu.
Ancaman nyata yang pertama dari politisasi masjid ialah terbelahnya umat, tempat yang harusnya bisa menentramkan jiwa malah menjadi tempat untuk saling menjatuhkan antara Paslon yang sedang bertarung, orang yang harusnya beribadah malah terfokus untuk pemenangan, yang harusnya berdizikir dan bertasbih malah menjadi memaki. Lebih parah lagi, para politikus busuk yang ingin menjadikan masjid sebagai panggung kampanye juga biasanya dengan sesuka hati mengutip ayat-ayat dan hadits nabi untuk mendukung kepentingan mereka.
Ancaman yang kedua ialah hilangnya kesucian dari masjid itu sendiri. Politiasi masjid bagi saya merupakan kejahatan dan penistaan yang nyata terhadap Islam, karena orang yang menggunakan masjid sebagai panggung kampanye berarti telah memanipulasi masjid demi kepentingan pribadi, berarti orang tersebut tidak lagi menganggap masjid sebagai tempat suci.
(suaraislam)