SEGERA setelah Muktamar Lampung pada Desember 2021, Nahdlatul Ulama menampilkan wajah baru dalam kepemimpinan, serta visi membangun masa depan dan tata dunia yang lebih damai. Di bawah komando KH Miftahul Akhyar (Rais ‘Aam-Syuriah) dan KH Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum- Tanfidziyah), Nahdlatul Ulama mengalami transformasi, baik dari perspektif keorganisasian, struktur, maupun gerakan.
KH Yahya C Staquf (Gus Yahya) berulang kali menyampaikan bahwa PBNU saat ini berusaha ‘menghidupkan Gus Dur’. Ini dimaknai dengan membangkitkan kembali gagasan-gagasan Gus Dur di berbagai level: gerakan sosial, konsolidasi warga Nahdliyyin, serta berkontribusi untuk menguatkan perdamaian global. Gus Yahya dengan jelas menyampaikan bahwa ia menerjemahkan visi dan berusaha menuntaskan hal-hal yang sudah dimulai oleh Kiai Abdurrahman Wahid.
Dalam konteks dalam negeri, PBNU di bawah komando Gus Yahya berusaha menguatkan kaki organisasi, dengan mengonsolidasi lebih dari 500 cabang, dari Aceh hingga Papua, juga menguatkan peran Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama yang tersebar di lebih 30 negara. PBNU telah menjalin kerja sama dengan pelbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, untuk kemudian dieksekusi di tingkat cabang, kecamatan (wakil cabang), hingga desa-desa (ranting). Jika berhasil dan kontinu, ini tentu akan mengonsolidasi jemaah (komunitas) dan jamiyyah (organisasi) dalam satu langkah taktis.
Persoalan mendasar warga Nahdliyyin secara umum, yakni kurang meratanya kesejahteraan dan akses ekonomi, telah mulai digarap secara serius dan terintegrasi. Kerja sama pemberdayaan nelayan dan petani sudah mulai dilakukan, dan ke depan akan merambah ke akses modal, literasi keuangan, sekaligus mengelola koperasi. Diharapkan, dengan kaki yang kuat di sektor ekonomi, akan lebih memantapkan khidmah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial, sebagaimana yang sudah dilakukan NU pada saat ini.
PBNU juga menyegarkan kembali skema kaderisasi, untuk mencetak pemimpin dan muharrik (penggerak) Nahdlatul Ulama. Kaderisasi yang sebelumnya masih tersebar dan belum terintegrasi, saat ini disiapkan sistem agar menjadi koheren, solid, dan berkesinambungan. Kaderisasi berjenjang ini akan menguatkan kepemimpinan di level ranting, wakil cabang, cabang, pengurus wilayah, hingga pengurus besar. Bahkan, sistem kaderisasi juga dirancang untuk menghasilkan kader-kader Nahdlatul Ulama yang siap menjadi pemimpin nasional dan berkiprah di level internasional. Penyegaran sistem kaderisasi dan kepemimpinan ini yang akan menghadirkan wajah segar menuju Abad II Nahdlatul Ulama.
Diplomasi NU
Visi Gus Yahya yang ingin membawa Nahdlatul Ulama berdampak secara global, juga mendapat respons positif di level internasional. Sejak Januari 2022, sejumlah duta besar dari berbagai negara berkunjung ke PBNU untuk berdialog dengan Gus Yahya dan jajaran pengurus. Duta besar dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman, Pakistan, Palestina, Selandia Baru, dan bahkan dari Rusia dan Ukraina, serta berbagai negara lain meminta waktu untuk bersilaturahim.
Pada sebuah kesempatan, Gus Yahya berkelakar bahwa gedung PBNU lama-kelamaan mirip gedung PBB. Ini disebabkan banyaknya permohonan dari perwakilan negara-negara dan duta besar untuk bersilaturahim dengan PBNU. Secara garis besar, mereka menaruh harapan tinggi kepada NU untuk berkontribusi di level global, dalam hal mencari alternatif solusi atas masalah-masalah internasional.
Sebagaimana diketahui, Gus Yahya telah melakukan rangkaian gerakan di level internasional pada kurun waktu lebih satu dekade terakhir. Sejak wafatnya Gus Dur pada Desember 2009, Gus Yahya berusaha melakukan gerakan-gerakan nyata untuk membangun dialog atas pelbagai problem internasional, semisal konflik Israel-Palestina, problem Xinjiang di Tiongkok, serta membangun dialog lintas agama di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Gus Yahya juga memainkan peran dan komunikasi intensif dengan pimpinan politik dari European People’s Party (EPP) dan Centris Democrat International (CDI).
Kunjungan Gus Yahya ke Jerusalem pada Juni 2018 menjadi bukti bagaimana beliau serius membangun dialog untuk perdamaian. Gus Yahya berdialog di forum yang diselenggarakan American Jewish Committee (AJC), berkomunikasi dengan Benjamin Netanyahu, serta tokoh-tokoh agama di Israel dan Palestina. Meski mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak, Gus Yahya tetap konsisten memperjuangkan gagasannya untuk misi perdamaian Israel-Palestina. Menurut beliau, jika ingin menjadi juru damai, Indonesia haruslah diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai: Israel-Palestina.
Perspektif ini selaras dengan perjuangan Gus Dur dalam memahami konflik, bahwa menuntaskan sengketa Israel-Palestina akan menjadi pintu untuk menuntaskan berbagai sengketa di Timur Tengah dan bahkan di level dunia. Maka, membangun komunikasi dengan pihak Israel menjadi penting untuk menginisiasi perdamaian. Ini berbeda dengan sebagian kelompok di Indonesia yang menolak berkomunikasi dan membuka dialog dengan Israel sama sekali.
“Kita harus berupaya di luar jalur diplomasi resmi karena persoalan sudah sangat kompleks, sudah begitu lama, sehingga kalau hanya mengandalkan diplomasi resmi saja, tentu tidak akan cukup. Kita harus melakukan hal-hal yang di luar diplomasi resmi. Banyak hal di luar diplomasi formal yang harus kita tempuh supaya kita tetap mencari jalan keluar,” demikian ungkap Gus Yahya (NUOnline, 11/1/2022). Gus Yahya juga menegaskan bahwa perjuangan yang dilakukan sebenarnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan hanya untuk rakyat Palestina.
Komitmen Gus Yahya dan Nahdlatul Ulama untuk memperjuangkan kedaulatan Palestina, dan mencipta inisiasi baru untuk perdamaian dunia, menjadi bagian penting untuk membaca arah baru Diplomasi NU saat ini. Gus Yahya juga mendorong hadirnya fikih peradaban (fiqh al-hadharah), untuk membangun kerangka fundamental bagi gerakan menyeluruh Nahdlatul Ulama.
Ketika menulis buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020) yang menjadi manifesto, Gus Yahya menghadirkan narasi baru terkait dengan konteks geopolitik berdirinya NU. Menurut Gus Yahya, NU didirikan oleh kiai-kiai dalam konteks ikut serta dalam membangun peradaban dunia. Waktu itu, Turki Utsmani runtuh dan dunia Islam membutuhkan komando untuk menyangga peradaban. Situasi dunia di awal abad ke-20 memang mengkhawatikan: memuncaknya kolonialisme, perang Dunia I, serta situasi dunia yang tidak seimbang. Maka, NU hadir untuk menjadi kekuatan penyangga dalam konteks peradaban.
Ada peristiwa sejarah yang menjadi tonggak diplomasi internasional Nahdlatul Ulama, yakni Komite Hijaz. Waktu itu, Raja Ibn Saud—yang beraliran Wahabi—akan melakukan perubahan fundamental dalam kebijakan politiknya. Kiai-kiai pesantren merespons dengan membentuk delegasi untuk bertemu dan berdialog dengan Raja Saud. Di antara yang ingin dinegosiasikan oleh Komite Hijaz kepada Raja Ibn Saud, yakni pentingnya kebebasan bermazhab pada salah satu dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) di tanah Hijaz. Selain itu, menguatkan tata kelola ibadah haji agar memudahkan umat muslim seluruh dunia, menjaga tempat-tempat bersejarah, serta penulisan produk hukum di tanah Hijaz agar tidak terjadi pelanggaran.
Kiai Wahab Chasbullah memimpin Komite Hijaz ini dan sukses bertemu dengan pimpinan Arab Saudi. Komite Hijaz ini memberi bukti bahwa strategi diplomasi kiai-kiai pesantren juga canggih dan berperan besar. Komite Hijaz menjadi fondasi semangat dan pantulan energi bagi santri-santri dan kader Nahdlatul Ulama untuk berdiplomasi di level global. Spirit komite Hijaz inilah yang melambari strategi dan energi diplomasi santri hingga kini.
Second track diplomacy
Penyegaran visi kepemimpinan dan diplomasi yang ditawarkan PBNU di bawah komando Kiai Miftahul Akhyar dan Gus Yahya C Staquf ini akan menjadi warna baru dalam peran civil society untuk penguatan second track diplomacy. Jika selama ini, Islam Indonesia sudah mulai memberi warna dalam interaksi dengan pelbagai komunitas lintas agama dunia, serta pemimpin politik lintas negara, ke depan akan ada penguatan dalam kontribusi yang lebih konkret. Potensi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk menghadirkan Islam Indonesia pada level dunia dengan sendirinya akan memberi dampak bagi posisi Indonesia dalam konteks diplomasi, khususnya melalui agama dan kebudayaan.
Untuk memperkuat peran internasional ini, PBNU membentuk badan kerja sama internasional, serta mendorong banom, lembaga, dan kader-kader NU terkoneksi dengan jaringan global. Strategi second track diplomacy Nahdlatul Ulama perlu dirumuskan sebagai grand design kelembagaan pada level internasional. Peran diplomasi, melalui pendekatan jaringan keagamaan dan budaya akan memperkuat diplomasi negara yang selama ini telah dilakukan pemerintah Indonesia. Ini yang seharusnya terjadi: kolaborasi state actor dan non-state actor untuk penguatan diplomasi Indonesia.
Momentum Presidensi Indonesia pada G-20 2022 ini bisa dimaksimalkan sebagai ruang kontribusi untuk saling melengkapi strategi diplomasi negeri ini. NU juga perlu melangkah dalam peran nyata di bidang inovasi teknologi, green economy, sustainable energy, selain peran keagamaan dan diplomasi perdamaian, yang selama ini dijalankan. Ribuan kader dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di lebih 30 negara dunia dapat menjadi ujung tombak dari gerakan ini. Apalagi, Gus Yahya pernah menegaskan pentingnya santri-santri penggerak PCINU sebagai emissary Nahdlatul Ulama.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/488028/arah-baru-diplomasi-nahdlatul-ulama
(Suara Islam)