Dari hari Senin tgl. 12 Juni 2017 sore lalu saya sudah berada di al-Madinah al-Munawwarah untuk beribadah dan berziarah setelah menempuh perjalanan siang hari yang panas terik dari kota suci Makkah, kurang lebih sejauh 420 km. Mobil GMC yang kami kendarai di jalanan aspal yang sangat lebar dan halus itu dipacu dalam kecepatan tinggi dan jarang kurang dari 150 km/jam, bahkan sesekali jarum spedometer terlihat mendekati angka 200 km/jam. Sore hari kami sudah tiba dengan cepat di kota suci Madinah.
Kemarin setelah berdesak-desakan mengantri, alhamdulillah bisa masuk untuk Shalat Sunnah Taubat, Shalat Hajat dan berdoa tepat di samping tiang Taubat di Raudlah, salah satu taman surga, di Masjid Nabawi. Selanjutnya berziarah ke pusara Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama dan makam dua sahabat beliau, Abu Bakr al-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab radiya Allahu ‘anhuma dan mengucapkan salam kepada mereka. Peziarah sangat padat berdesakan mengantri. Para petugas keamanan terlihat tegas mengatur mereka.
Pada malam Ramadlan ini Masjid Nabawi yang sangat sejuk penuh sesak oleh jamaah Shalat Tarawih dari seluruh penjuru dunia. Sudah lebih dari seribu tahun Shalat Tarawih dan Witir disertai doa Qunut di Masjid Nabawi dilaksanakan dengan jumlah 23 rakaat, dan tidak 11 rakaat, apalagi dengan model 4+4+3. Sedangkan pada pagi dan siang harinya, bahkan sore hari terlihat ribuan orang tergeletak tidur memenuhi ruang-ruang masjid yang sangat megah tersebut. Di antara mereka terlihat banyak juga yang membaca al-Quran dan berzikir. Sungguh suasana yang sangat menyenangkan hati.
Ada banyak tempat yang dikunjungi di Madinah, seperti Masjid al-Ijabah, Baqi’ al-Gharqad, Masjid Sayyidina Bilal bin Rabah, Masjid Quba’, Masjid al-Qiblatain, Khandaq, Bukit Uhud, Mazra’at al-Tamr (Kebun Kurma) di daerah Quba’ dan sebagainya.
Khusus saya sedikit jelaskan bahwa Masjid Quba’ adalah masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulullah di Madinah dan sepanjang 10 tahun setelah mendirikan Masjid Nabawi, setiap hari Sabtu beliau mengunjungi Masjid Quba’ ini. Sehingga siapa saja yang mengunjungi dan shalat di Masjid Quba’ ini sama dengan melaksanakan satu kali umrah.
Suhu Madinah pada siang hingga malam hari relatif sangat panas seperti halnya kota suci Makkah. Toko-toko ditutup menjelang tiba waktu shalat karena para pemilik dan pegawainya berdisiplin shalat berjamaah dan baru di buka kembali seusai shalat. Pada bulan Ramadlan semua restoran baru dibuka kembali setelah rampung shalat jamaah Ashar. Orang-orang Indonesia berserakan di berbagai toko, ada yang sekedar melihat-lihat dan banyak juga yang berbelanja apa saja seperti souvenir, meski di Indonesia mudah dijumpai. Berbeda dengan di Makkah, para pegawai toko di Madinah lebih ramah dan suka berbahasa Indonesia daripada berbahasa Arab. Mereka tidak segan menawarkan barang dagangannya dengan menarik tangan para pembeli untuk sekedar memasuki tokonya.
Madinah adalah kiblat ilmu agama dan ulama semenjak didiami oleh Rasulullah dan mayoritas para sahabatnya setelah mereka berhijrah dari Makkah. Mata rantai periwayat hadis nabi kelas atas (al-asanid al-‘aliyah li al-ahadits al-nabawiyyah), berbagai ijtihad ahli fiqh dari kalangan sahabat dan putusan-putusan hukum sudah sejak lama ada di kota ini, khususnya fiqh Sayyiduna Umar bin al-Khaththab. Sebagiannya tersebar ke seluruh penjuru negeri kaum muslim. Generasi ulama sesudah sahabat (al-tabi’in) mewarisi ilmu mereka.
Dijelaskan dalam berbagai referensi agama bahwa di Madinah ini ada 7 (tujuh) ahli fiqh yang sangat terkenal (al-fuqaha’ al-sab’ah), yaitu:
Sa’id bin al-Musayyab (wafat: 94 H.), ‘Urwah bin al-Zubair (wafat: 94 H.), Abu Bakr ibn ‘Abd al-Rahman bin al-Harits (wafat: 94 H.), ‘Ubaid Allah bin ‘Abd Allah bin ‘Uthbah bin Mas’ud (wafat: 98 H.), Kharijah bin Zaid bin Tsabit (wafat: 100 H.), al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr (wafat: 107 H.), Sulaiman bin Yasar (wafat: 207 H.).
Setelah mereka yang saya sebutkan di atas muncullah sejumlah tokoh ulama besar dari generasi setelah tabi’in yang juga menetap di Madinah dan mewarisi ilmu para pendahulunya, seperti Rabi’ah bin Abi ‘Abd al-Rahman yang sering disebut Rabi’ah al-Ra’yi (wafat: 136 H.). Beliau ini adalah guru (syaikh) dari al-Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Asbahiy (lahir: 93 H. dan wafat: 179 H.), seorang mujtahid muthlaq mustaqil yang kepadanya dinisbatkan al-madzhab al-Maliki dan fuqaha’ al-Malikiyyah. Beliau tidak pernah beranjak dari Madinah kecuali untuk sekedar menunaikan ibadah haji. Beliau terkenal sangat mengagungkan hadits Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama, tidak pernah sekalipun menaiki kendaraan (seperti onta, kuda atau keledai) di Madinah karena Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama dikuburkan di kota ini dan beliau sangat menjauhi para pejabat.
Di antara murid al-Imam Malik adalah al-Imam al-Syafi’i (Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin al-Saib ibn ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abd Manaf al-Muththalibiy al-Wurasyiyyu) (lahir: 150 H. dan wafat: 204 H.) yang menghapalkan kitab al-Muwaththa’ karya al-Imam Malik setelah meminjamnya dari seorang pria di Makkah sebelum berguru langsung kepada al-Imam Malik hingga wafatnya di Madinah. Al-Imam al-Syafi’i diterima menjadi murid oleh al-Imam Malik setelah mendapat surat rekomendasi dari pejabat Makkah yang ditujukan kepada pejabat Madinah yang dengan segan mengantarkannya bersama al-Imam al-Syafi’i kepada al-Imam Malik di Madinah.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.
Kyai Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU
(suaraislam)