Absurditas Tatanan Dunia

Ilustrasi serangan rudal. (Foto: ANTARA FOTO/KUWADI DAN BUDI CANDRA)

Serangan udara militer AS terhadap dua tokoh penting dalam peperangan melawan ISIS di Timur Tengah, Jenderal Qassem Soleimani (komandan Pasukan Al Quds, Iran) dan Abu Mahdi Al Muhandisi (komandan pasukan Hashd Al Shaabi, Irak), telah memunculkan kegaduhan besar di dunia internasional. Apalagi kemudian Iran melakukan serangan balasan dengan meluncurkan rudal ke pangkalan militer AS di Ain Al Assad Irak pada Rabu dini hari (8/1). Kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia ke-3 muncul seiring dengan kekhawatiran akan naiknya harga minyak dunia yang pasti akan berimbas kepada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Presiden AS Donald Trump merespon serangan itu dengan pernyataan de-eskalasi (penurunan ketegangan), yaitu AS tidak akan berperang dengan Iran. Ada banyak analisis yang dikemukakan atas respon Trump, di antaranya, AS ditengarai mengkhawatirkan keamanan Israel yang akan terancam bila perang berlanjut. Analisis lainnya menyatakan bahwa pernyataan yang lunak itu muncul karena sekutu AS di kawasan dan di NATO ternyata tidak memberikan dukungan kepada AS untuk melanjutkan perang.

Sementara ini ketegangan terlihat semakin menurun karena fokus negara-negara yang terlibat terdistraksi oleh kasus kecelakaan pesawat Ukraine Airlines. Pesawat itu lepas landas dari Imam Khomeini International Airport, Teheran, lima jam setelah penembakan rudal ke Ain Al Assad. Angkatan Bersenjata Iran telah mengakui, dan menyatakan penyesalan mendalam, atas terjadinya human error yang menyebabkan pesawat itu tertembak oleh Sistem Pertahanan Udara (Air Defence System).

Di tengah dinamika konflik ini, kita perlu mempertanyakan ulang, mengapa tatanan dunia menjadi sedemikian absurd? Mengapa dalam konflik ini, PBB seolah tumpul, tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pengawal perdamaian dunia? Mengapa sebuah negara bisa dibiarkan melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan terhadap negara lain, termasuk membunuh pejabat negara lain?

Dunia seharusnya belum lupa bahwa AS menginvasi Irak pada 19 Maret 2003 tanpa izin PBB. Tujuan utama operasi militer AS adalah regime change atau mengakhiri pemerintahan Saddam Husein dan ‘membantu rakyat Irak untuk membentuk pemerintahan demokratis’. Saddam terguling hanya dalam sebulan, namun tentara AS terus berada di Irak hingga delapan tahun berikutnya. Selama perode itu AS dilaporkan melakukan banyak kejahatan kemanusiaan. Di antara kasus yang mendapatkan banyak liputan media adalah penyiksaan di penjara Abu Ghraib, pembunuhan dan pemerkosaan di Mahmudiya, pembunuhan massal di Haditha, serta penggunaan bom yang mengandung depleted uranium dan fosfor putih di Falluja. Bom itu diduga kuat menjadi penyebab atas banyaknya bayi yang terlahir dalam berbagai kondisi mengerikan di Falluja.

Menurut survei yang dilakukan tim peneliti internasional yang bekerja sama dengan pemerintah Irak, pada rentang 2003-2011, total warga Irak yang tewas mencapai setengah juta orang, 60% dari angka ini tewas akibat penembakan, pengeboman, serangan udara, atau kekerasan lainnya. Sisanya tewas akibat sebab-sebab ‘tak langsung’, misalnya akibat buruknya sanitasi atau tidak adanya rumah sakit.

Namun demikian, tidak ada hukuman yang bisa diberikan oleh komunitas internasional atas kejahatan ini. AS belum meratifikasi Statuta Roma, sehingga tidak bisa dilakukan penuntutan terhadapnya di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). Negara yang bukan peratifikasi Statuta Roma hanya bisa dituntut di ICC bila Dewan Keamanan PBB memberi mandat. Namun tidak mungkin mandat itu turun karena AS punya hak veto dan tentu saja akan memveto resolusi apapun yang merugikannya.

Menlu Iran Javad Zarif dalam menjelaskan serangan balasan negaranya ke pangkalan AS di Irak, mengutip Piagam PBB Pasal 51 Bab 7 yang menyebutkan bahwa negara anggota berhak untuk mempertahankan diri secara sendirian, maupun secara kolektif, bila terjadi serangan terhadapnya, hingga Dewan Keamanan PBB mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan perdamaian dunia dan keamanan. Namun pasal ini tidak memberi solusi jika ternyata Dewan Keamanan PBB tidak melakukan langkah apapun. Apalagi, DK PBB juga dengan mudah dijegal oleh hak veto yang dimiliki negara-negara anggota tetap (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China).

PBB juga tumpul dalam melindungi keselamatan negara-negara yang diserang oleh milisi teroris yang berjejaring secara transnasional, seperti ISIS. Kita menyaksikan betapa besarnya kekuatan ISIS mulai dari persenjataan, dana, dan perlindungan mobilitas. Petempur ISIS yang datang dari berbagai negara bisa masuk ke Suriah tentu saja melewati negara-negara yang berbatasan dengan Suriah. PBB tidak bisa mencegah apalagi menghukum negara-negara yang sudah terindikasi kuat menyalurkan dana, senjata, dan berbagai perlindungan kepada ISIS.

Salah satu contoh kasus, lembaga penelitian Conflict Armament Research (CAR) menemukan bahwa tank anti-misil berjenis 9M111MB-1 (Anti-Tank Guided Weapon Missile Tube) buatan tahun 2015 yang digunakan ISIS melawan tentara Irak di Al Ramadi (2016) ternyata diproduksi Bulgaria dan dijual kepada militer AS pada 12 Desember 2015. Laporan dari Balkan Investigative Reporting Network (BIRN) dan Organised Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada 2016 menyebutkan terjadinya penjualan senjata seharga 1 miliar Euro dari negara-negara Eropa timur, seperti Bosnia, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Montenegro, Slovakia, Serbia dan Romania kepada negara-negara Timur Tengah dan kemudian jatuh ke tangan milisi-milisi di Suriah. Penjualan senjata seperti ini telah melanggar perjanjian internasional Arms Trade Treaty (ATT), namun PBB seolah tidak berdaya mengimplementasikannya.

Klimaksnya, pada tanggal 3 Januari 2020 dini hari, AS membunuh dua orang yang paling berjasa dalam perang melawan ISIS. Menyusul pembunuhan ini, Parlemen Irak telah merilis resolusi yang memerintahkan agar tentara AS angkat kaki dari Irak. Namun pada Jumat (10/1) pemerintah AS sudah menyatakan menolak keluar dari Irak, dengan alasan bahwa pasukannya diperlukan untuk melanjutkan perang melawan ISIS. Jika benar AS hadir di Irak untuk melawan ISIS, lalu mengapa tokoh yang yang melawan ISIS malah dibunuh? Pelanggaran terhadap hukum internasional yang dibiarkan berkali-kali terjadi telah membuat masa depan dunia semakin absurd.

Sumber: FB Dina Sulaeman

(suaraislam)

Loading...